Salah satu kesenian yang dimiliki Kabupaten Pandeglang adalah Rampag Bedug, berawal dari ngadu bedug atau ngabedug antar kampung yang biasa dilakukan masing-masing kampung, tepatnya di beberapa kampung di Kabupaten Pandeglang seperti Juhut, Ciliang, Parung Sentul, sampai Kadu Hejo.
Pada dasarnya ngadu bedug tersebut kerap dilakukan hampir setiap malam oleh para pemuda yang hobi meramaikan suasana kampung, dengan cara menabuh bedug yang dibuatnya keliling kampung.
Ngabedug dengan cara berkeliling tersebut pra pemuda menyebutnya ‘Bedug Nganjor’, artinya para pemuda yang menabuh bedug secara berkeliling ke beberapa kampung untuk diadukan tabuhannya, bahkan tak jarang kerap terjadi bentrokan fisik.
Dari bedug nganjor tersebutlah masing-masing pemuda yang hobi menabuh bedug menciptakan masing-masing lagu atau tabuhannya, bahkan menciptakan nama tabuhan bedug untuk lebih mudah diingat dan menjadi ciri khas suatu kampung.
Menabuh bedug pada masa tahun 1960 merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh para remaja dan pemuda kampung untuk mengisi waktu, karena pada saat itu masih belum ada hiburan yang seperti saat ini.
Dikarenakan kerap terjadi bentrokan fisik pada saat melakukan bedug nganjor, akhirnya pihak Kodim Pandeglang memfasilitasi untuk dilombakan di Alun-alun Pandeglang agar tidak terjadi bentrokan fisik saat ‘Bedug Nganjor’, dan lomba tersebut disaksikan oleh masing-masing kampung untuk mendukung para pemuda yang menabuh bedug dengan ciri khas masing-masing tabuhannya.
Salah seorang seniman Pandeglang putra dari Haji Ilen yang mempopulerkan rampag bedug di Tingkat Nasional, Endang menceritakan pada masa bedug nganjor ukuran bedug yang digunakan terbilang cukup panjang, karena dengan ukuran yang panjang bisa membuat resonansi suara yang jauh.
“Kalau awal-awal rampag bedug pada masa dahulu masih nganjor bedug, itu panjang-panjang ukurannya, tapi memang bedug yang dijadikan kebutuhan entertainment kan pasti menyesuaikan dan relatif lebih lebih pendek, tapi tidak mengurangi substansi,” katanya.
Pada tahun 1980, orang tua Endang (H. Ilen) dipanggil ke Jakarta untuk menampilkan rampag bedug, yang pada waktu itu dikombinasikan dengan tarian. Pada tahun tersebut dirinya mendapatkan tawaran dari Pemerintah Kota Jakarta untuk menjadikan Rampag Bedug tersebut menjadi kesenian Jakarta. Bahkan yang paling mengharukan, Haji Ilen ditawari pekerjaan yang cukup menjanjikan diangkat menjadi Pegawai Pemerintah untuk melestarikan kesenian, namun dirinya bersikukuh untuk membawa kembali Rampag Bedug ke Pandeglang daerah asalnya, karena dari sanalah dirinya berangkat dan berjanji akan menjadikan Rampag Bedug sebagai kesenian khas Pandeglang.
Terdapat hal yang tidak terduga ketika Haji Ilen ingin membawa Rampag Bedug dan membesarkan keseniannya, rupanya mendapat tanggapan yang kurang baik dari tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Pada akhirnya dirinya memodifikasi rampag bedug tersebut dengan menambahkan tarian yang diadopsi dari gerakan silat (karena Pandeglang identik dengan jawara) juga menambahkan solawat dalam lagu dan nyanyiannya (karena Pandeglang identik dengan santri), kemudian mulai diterimalah rampag bedug sebagai salah satu kesenian yang bernilai agama dan jawara.
Eksistensi bedug pada masa tersebut terbilang cukup penting, pasalnya segala bentuk pengumuman disampaikan lewat bedug, seperti pengumuman gotong royong, bencana, bahkan pengumuman bencana.
Oleh karena rampag bedug dijadikan sebagai salah satu kesenian, mulai banyak kalangan remaja atau pemuda yang belajar menabuh bedug, dan Haji Ilen menciptakan beberapa jenis tabuhan bedug, secara keseluruhan terdapat 75 jenis tabuhan. Ada beberapa jenis tabuhan yang memang sudah ada sejak dahulu.
Sekilas rentetan sejarah singkatnya Rampag Bedug yang kita kenal sampai saat ini, dan hingga kini Pemerintah Kabupaten Pandeglang menjadikan Rampag Bedug sebagai kesenian penyambut tamu istimewa pemerintah. (de)*